Pendahuluan
- Latar Belakang
Pada tahun 2011 tahun ini
tepatnya 28 -30 Desember, keluarga besar SMP 1 Leuwimunding mengadakan study
tour yang merupakan perjalanan rekreasi tahunan, yang mana perjalanan itu
dilaksanakan bersama semua siswa dan siswi khusus kelas VIII saja. Sebelum
Ujian, guru Bahasa Indonesaia memberikan tugas pada siswa yangdibagi beberapa
kelompok. Tugas itu adalah membuat buku laporan dari seluruh perjalan Study Tour
tersebut. Sedangkan tempat-tempat yangdituju dalam perjalanan itu adalah
sebagai berikut.
Candi Borobudur,
Museum Dirgantara,
Taman Pintar,
Malioboro
- Tujuan Laporan
Tujuan pembuatan buku perjalanan Study Tour ini adalah untuk melatih siswa
membuat karangan yang berupa laporan.Selain itu pula, buku laporan ini dibuat dengan
maksud memberikan penjelasan yang menyeluruh tentang semua apa yang
terjadi dalam pelaksanaan perjalan study tour tersbut, baik dari awal perjalananmaupun sampai
akhir perjalanan sampai seluruh rombongan pulang kerumah masing-masing
Waktu dan Tempat Tujuan
Tanggal : Rabu, 28 – 30 Desember
2011
Tempat Tujuan : Candi Borobudur,
Museum Dirgantara,
Taman Pintar,
Malioboro
CANDI BOROBUDUR
Candi borobudur merupakan salah satu obyek wisata yang
terkenal di Indonesia yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Candi
Borobudur didirikan sekitar tahun 800-an Masehi oleh para penganut agama Buddha
Wahayana. Dalam sejarah candi borobudur, terdapat berbagai
teori yang menjelaskan asal usul nama
candi borobudur. Salah satunya menyatakan bahwa nama borobudur
kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara yang artinya “gunung” (bhudara)
di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras.
Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya.
Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan “para Buddha” yang karena
pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini
berasal dari dua kata “bara” dan “beduhur”. Kata bara konon berasal dari kata
vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa
Sansekerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah
“tinggi”, atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti “di atas”. Jadi
maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk
mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat
pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Kahulunan, Casparis memperkirakan
pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama
Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M.
Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa
putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan
waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai
penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çr? Kahulunan
(Pramudawardhani) untuk memelihara Kam?l?n yang disebut Bh?misambh?ra. Istilah
Kam?l?n sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal,
bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa
Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bh?mi Sambh?ra Bhudh?ra dalam bahasa
sansekerta yang berarti “Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan
boddhisattwa”, adalah nama asli Borobudur.
Letak candi ini diatas perbukitan yang terletak di Desa
Borobudur, Mungkid, Magelang atau 42 km sebelah laut kota Yogyakarta.
Dikelilingi Bukit Manoreh yang membujur dari arah timur ke barat. Sementara di
sebelah timur terdapat Gunung Merapi dan Merbau, serta disebelah barat ada
Gunumg Sindoro dan Gunung Sumbing.
Dibutuhkan tak kurang dari 2 juta balok batu andesit
atau setara dengan 50.000m persegi untuk membangun Candi Borobudur ini. Berat
keseluruhan candi mencapai 3,5 juta ton. Seperti umumnya bangunan candi,
Bororbudur memiliki 3 bagian bangunan, yaitu kaki, badan dan atas. Bangunan
kaki disebut Kamadhatu, yang menceritakan tentang kesadaran yang dipenuhi
dengan hawa nafsu dan sifat-sifat kebinatangan. Kemudian Ruphadatu, yang
bermakna sebuah tingkatan kesadaran manusia yang masih terikat hawa nafsu,
materi dan bentuk. Sedangkan Aruphadatu yang tak lagi terikat hawa nafsu,
materi dan bentuk digambarkan dalam bentuk stupa induk yang kosong. Hal ini
hanya dapat dicapai dengan keinginan dan kekosongan
Museum
Dirgantara Mandala
Kabupaten Sleman tepatnya di komplek Pangkalan
Udara TNI-AU Adisucipto Yogyakarta. Museum ini banyak menampilkan sejarah
kedirgantaraan bangsa Indonesia serta sejarah perkembangan angkatan udara RI
pada khususnya. Selain terdapat diorama juga terdapat bermacam-macam jenis
pesawat yang dipergunakan pada masa perjuangan. Beberapa model dari pesawat
tersebut adalah milik tentara jepang yang digunakan oleh angkatan udara
Indonesia
Keberadaan Museum Pusat TNI AU
Dirgantara Mandala berdasarkan atas gagasan dari Pimpinan TNI AU untuk
mengabadikan dan mendokumentasikan segala kegiatan dan peristiwa bersejarah di
lingkungan TNI AU. Hal tersebut telah lama dituangkan dalam Keputusan Menteri/
Panglima Angkatan Udara No. 491, tanggal 6 Agustus 1960 tentang Dokumen dan Museum
Angkatan Udara. Setelah mengalami proses yang lama, pada tanggal 21 April 1967,
gagasan itu dapat diwujudkan dan organisasinya berada di bawah Pembinaan
Asisten Direktorat Budaya dan Sejarah Menteri Panglima Angkatan Udara di
Jakarta. Berdasarkan Instruksi Menteri/ Panglima Angkatan Udara Nomor 2 tahun
1967, tanggal 30 Juli 1967 tentang peningkatan kegiatan bidang sejarah, budaya,
dan museum, maka Museum Angkatan Udara mulai berkembang dengan pesat. Berkat
perhatian yang besar, baik dari Panglima Angkatan Udara maupun Panglima Komando
Wilayah Udara V (Pang Kowilu V), pada tanggal 4 April 1969 Museum Pusat TNI AU
yang berlokasi di Markas Komando Udara V, di Jalan Tanah Abang Bukit Jakarta,
diresmikan oleh Panglima Angkatan Udara Laksamana Roesmin Noerjadin.
Berdasarkan berbagai pertimbangan
bahwa kota Yogyakarta pada periode 1945-1949 mempunyai peranan penting dalam
sejarah, yaitu tempat lahirnya TNI AU dan pusat kegiatan TNI AU, serta
merupakan kawah Candradimuka bagi Kadet Penerbang/ Taruna Akademi Angkatan
Udara. Berdasarkan Keputusan Kepala Staf TNI AU Nomor Kep/11/IV/1978, museum
yang semula berkedudukan di Jakarta, kemudian dipindahkan ke Yogyakarta.
Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Kepala Staf TNI AU Nomor
Skep/04/IV/1978 tanggal 17 April 1978, museum yang berlokasi di Kampus Akabri
Bagian Udara itu ditetapkan oleh Marsekal TNI Ashadi Tjahyadi menjadi Museum
Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, pada tanggal 29 Juli 1978 yang bertepatan
dengan peringatan Hari Bhakti TNI AU. Perkembangan selanjutnya, museum itu
tidak dapat menampung lagi koleksi alutsista yang ada karena lokasinya yang
sukar dijangkau oleh umum dan kendaraan. Oleh karena itu, Pimpinan TNI AU
memutuskan untuk memindahkannya ke gedung bekas pabrik gula di Wonocatur Lanud
Adisucipto. Sebelum pemindahan dilakukan gedung itu direhabilitasi untuk
dijadikan Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala. Pada tanggal 17 Desember
1982, Kepala Staf TNI AU Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi menandatangani prasasti
sebagai bukti dimulainya rehabilitasi gedung itu.
Penggunaan dan pembangunan kembali
gedung bekas pabrik gula itu diperkuat dengan Surat Perintah Kepala Staf TNI AU
Nomor Sprin/05/IV/1984, tanggal 11 April 1984. Dalam rangka memperingati Hari
Bhakti TNI AU, tanggal 29 Juli 1984, Kepala Staf TNI AU Marsekal TNI Sukardi
meresmikan gedung yang sudah direhabilitasi itu sebagai gedung Museum Pusat TNI
AU Dirgantara Mandala. Lokasi Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala itu berada
di Pangkalan Udara Adisucipto, di bawah Sub Dinas Sejarah, Dinas Perawatan
Personel TNI AU, Jakarta.
Bangunan, Gedung Museum Pusat TNI AU
Dirgantara Mandala yang ditempati sekarang adalah bekas pabrik gula Wonocatur pada
zaman Belanda, sedangkan pada zaman Jepang digunakan untuk gudang senjata dan
hanggar pesawat terbang.
Koleksi, Museum Pusat TNI AU
Dirgantara Mandala memamerkan benda-benda koleksi sejarah, antara lain :
koleksi peninggalan para pahlawan udara, diorama, pesawat miniatur, pesawat
terbang dari negara-negara Blok Barat dan Timur, senjata api, senjata tajam,
mesin pesawat, radar, bom atau roket, parasut dan patung-patung tokoh TNI
Angkatan Udara.
Taman Pintar
Sejak terjadinya ledakan perkembangan sains sekitar
tahun 90-an, terutama Teknologi Informasi, pada gilirannya telah menghantarkan
peradaban manusia menuju era tanpa batas. Perkembangan sains ini adalah sesuatu
yang patut disyukuri dan tentunya menjanjikan kemudahan-kemudahan bagi
perbaikan kualitas hidup manusia.
Menghadapi realitas perkembangan dunia semacam itu, dan
wujud kepedulian terhadap pendidikan, maka Pemerintah Kota Yogyakarta menggagas
sebuah ide untuk Pembangunan "Taman Pintar". Disebut
"Taman Pintar", karena di kawasan ini nantinya para siswa, mulai pra
sekolah sampai sekolah menengah bisa dengan leluasa memperdalam pemahaman soal
materi-materi pelajaran yang telah diterima di sekolah dan sekaligus
berekreasi.
Dengan Target Pembangunan Taman Pintar adalah
memperkenalkan science kepada siswa mulai dari dini, harapan lebih luas
kreatifitas anak didik terus diasah, sehingga bangsa Indonesia tidak hanya
menjadi sasaran eksploitasi pasar teknologi belaka, tetapi juga berusaha untuk
dapat menciptakan teknologi sendiri.
Bangunan Taman Pintar ini dibangun di eks kawasan
Shopping Center, dengan pertimbangan tetap adanya keterkaitan yang erat antara
Taman Pintar dengan fungsi dan kegiatan bangunan yang ada di sekitarnya,
seperti Taman Budaya, Benteng Vredeburg, Societiet Militer dan Gedung Agung.
Relokasi area mulai dilakukan pada tahun 2004, dilanjutkan dengan
tahapan pembangunan Tahap I adalah Playground dan Gedung PAUD Barat serta PAUD
Timur, yang diresmikan dalam Soft Opening I tanggal 20 Mei 2006 oleh
Mendiknas, Bambang Soedibyo.
Pembangunan Tahap II adalah Gedung Oval lantai I dan II
serta Gedung Kotak lantai I, yang diresmikan dalam Soft Opening II tanggal 9
Juni 2007 oleh Mendiknas, Bambang Soedibyo dan Menristek, Kusmayanto Kadiman,
serta dihadiri oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Pembangunan
Tahap III adalah Gedung Kotak lantai II dan III, Tapak Presiden dan Gedung
Memorabilia.
Dengan selesainya tahapan pembangunan, Grand Opening Taman Pintar
dilaksanakan pada tanggal 16 Desember 2008 yang diresmikan oleh Presiden RI,
Susilo Bambang Yudhoyono.
Malioboro
“Malioboro adalah kanal bisnis bagi kelompok Tionghoa yang dimasa
lalu memiliki sejarah hubungan naik turun dengan kekuasaan Kesultanan
Yogyakarta. Di Kotagede, kaum Tionghoa tidak diperbolehkan berdagang karena
memang sudah ada mayoritas pebisnis pribumi seperti Kelompok Kalang dan
Kelompok pedagan Muslim yang melingkar pada organisasi Muhammadijah. Di tengah
kota kelompok Tionghoa ini menjadikan Malioboro sebagai daerah modal untuk
mengembangkan bisnisnya. Perang Jawa tidak akan bisa lepas dari percaturan politik
Tionghoa. Tokoh seperti Tumenggung Secodiningrat. Sejarah Secodiningrat adalah
sejarah percampuran juga sejarah politik dan kebencian rasial. Politik
Cinta-Benci yang selalu menandai sejarah kekuasaan Jawa-Mataram ini ternyata
mendapatkan tempat dalam cerita jalan Malioboro. Di jaman Secodiningrat inilah
jalan Malioboro menjadi saksi beberapa intrik keraton yang kemudian juga
melibatkan ketidaksenangan Paku Alam terhadap peran Secodiningrat.”
Sekitar tahun 1916 kawasan pecinan yang berkembang di
wilayah setjodiningratan yaitu sebelah timur kantor pos besar, mulai menjadi
basis bisnis menyaingi wilayah kotagede. apalagi setelah dibangun pasar gedhe
yang sekarang bernama pasar bringharjo dan mulai beroprasi tahun 1926 geliat
ekonomi di kawasan ini mulai beranjak naik. padahal sebelumnya jalan ini
hanyalah jalan biasa yang jarang dijamah kecuali sebagai tempat lewat menuju
keraton.
Kawasan Pecinan mulai meluas ke utara, sampai ke Stasiun Tugu yang
dibangun pada 1887 dan Grand Hotel de Yogya (berdiri pada 1911, kini Hotel
Garuda). Malioboro menjadi penghubung titik stasiun sampai Benteng Rusternburg
(kini Vredeburg) dan Kraton. Rumah toko menjadi pemandangan lumrah di sepanjang
jalan ini. Karena itu, secara kultural, ruang Malioboro merupakan gabungan dua kultur
dominan, yakni Jawa dan Cina.
Maliboro yang berarti jalan bunga (mungkin untuk
menghubungkan dengan pasar kembang disebelah utara) sebelum menjadi pusat niaga
hanyalah jalan luji kebon. perkembangan malioboro selain ditunjang oleh bakat
bisnis orang-orang tionghhoa juga ditunjang oleh posisi yang stretegis dalm
filosofi garis imajiner jogja. muncul dan berdirinya bangunan-bangunan
strategis juga berperan pada perkembangan malioboro seperti pasar bringharjo,
hotel grand jogja hingga stasiun tugu.
Hingga kini malioboro menjadi bagian tak terpisahkan
dari sejarah intrik kehidupan jogja (bisa di baca di tulisan sebelumnya).
selain sejarah intrik dagang, malioboro adalah saksi bisu penangkapan soekarno
sat agresi miiter 2 belanda, saksi pertempuran 6 jam. hingga kini di malioboro
juga menjadi pusat dari pemerintahan jogja dengan berdirinya kantor-kantor
pemerintahan.
tapi yang jarang terlintas dalam perkembangan sejarah jogja adalah
dunia sastra. dari sinilah dunia sastra jogja mulai mengembangkan taring. dalam
Antologi Puisi Indonesia di Yogyakarta 1945-2000 memberi judul “MALIOBORO”
untuk buku tersebut, uku yang berisi 110 penyair yang tinggal dan pernah
tinggal di yogyakarta selama kurun waktu lebih dari setengah abad.
Selain itu malioboro memberi jejak tersendiri pada dunia
sastra indonesia pada umumnya maupun jogja pada khususnya. kisah ini terlacak
saat tahun 1970-an, Malioboro tumbuh menjadi pusat dinamika seni budaya di
Yogya. Malioboro menjadi ‘panggung’ bagi para seniman ‘jalanan’, dengan
pusatnya senisono. Mungkin kita masih ingat julukan Presiden Malioboro pada
Umbu Landu Paranggi cucu raja sumba, yang melahirkan muid-murid berkaliber
“monster” dalam dunia sastra (alm) Linus Suryadi dan Emha Ainun Najib serta
korys layun rampan, hingga ratusan pemuja umbu dalam lingkaran komuniats PSK
(persada studi klub) . Daya hidup seni jalanan ini akhirnya mandek pada 1990-an
setelah gedung Senisono ditutup
Warisan ‘para seniman ini di Malioboro adalah ‘budaya
lesehan’, yang lalu menjadi eksotisme dan merupakan daya jual kekhasan
warung-warung di Malioboro. Dalam konteks budaya, bangunan-bangunan bergaya
Indies Hindia Belanda, Jawa dan Cina di kawasan ini mungkin masih menjadi
peninggalan yang berarti, di tengah munculnya sejumlah bangunan baru bergaya
modern, seperti Mal Malioboro.
Malioboro adalah Sebuah jalan pada satu kota adalah
kumpulan kenangan yang tergabung secara kolektif bagi penghuninya, namun secara
umum saya lebih menikmati titik nol KM jogja yang merupakan ujung selatan jaln
malioboro, di situlah hingga kini “budaya lesehan” para seniman masih
terus berlanjut.
Kesan dan Pesan
Kesan :
Kesan kami mengikuti Study Tour ini sangat menyenangkan,
dan dapat sebagai pengalaman selama kami bersekolah di SMPN 1 Leuwimunding ,
selain itu pengetahuan dan wawasan kami bertambah setelah kami mengunjungi
study ke Candi borobudur, Museum Dirgantara, Taman Pintar, dan Malioboro.
Pesan :
Pesan dari kami yaitu tetap menjaga dan melestarikan budaya bangsa
dan warisan-warisan dari nenek moyang kita.
Penutup
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai laporan
perjalan wisata ke Yogyakarta, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi
memberikan kritik
dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini
dan dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya
juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
5 comments:
terimakasih atas infonya , ini sangat bermaanfaat buat saya
Mantabz gan (y)
thanks banget buat infonya. sangat membantu :)
Syukron Katsir..!
makasih gan , mampir mampir ya , saya juga ada artikel tentang laporan perjalanan
http://study-succes.blogspot.com/2013/11/contoh-laporan-perjalanan.html
Post a Comment